Jakarta-Transjurnal.com-Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyoroti masa jeda pemilihan presiden dan pelantikan presiden terpilih 2024. Ia menyebut masa jeda itu akan membuat presiden terpilih makan hati.
“Betapa nanti kalau pemilihan langsungnya bulan Februari, tanggal 14 tahun 2024, sementara pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2024, itu ada jeda waktu yang panjang sekali, sehingga kasihan presiden kita. Iya kalau presidennya terpilih kembali seperti Jokowi pada 2019, tapi kalau tidak terpilih kembali, itu 8 bulan makan hati, karena presiden itu sudah bentuk ini, bentuk itu (tidak langsung bisa kerja)” kata Fahri dalam webinar Moya Institute: Pemisahan Pilpres dengan Pileg: Tinjauan Strategis, Jumat (24/6/2022).
Fahri membandingkannya dengan Pemilu di Australia. Pada saat Pemilu usai dilaksanakan dan peraih suara terbanyak diumumkan pada Sabtu (21/5/2022), perdana menteri langsung dilantik pada Senin (23/5/2022).
“Begitu dinyatakan KPU terpilih dan dia dilantik, besoknya dia langsung terbang ke Jepang memimpin Negaranya sebagai perdana menteri. Kalau kita, 8 bulan tidak benar itu. Kalau bisa dibikin cepat. Supaya presiden (pilpres) tidak direcoki terlebih dahulu, kita fokus ke pemilihan legislatif dulu dah. Kita baru merecoki presiden (pilpres) bulan Juli atau Agustus (2024),” terang Fahri.
Hal ini yang diusulkan pihaknya bersama jajaran pengurus Partai Gelora. Pihaknya kini tengah menanti proses yang masih bergulir di Mahkamah Konstitusi terkait uji materi aturan keserentakan Pemilu 2024.
“Kalau ini bisa disepakati MK, memang ada akibat. Semua parpol akan tarung dari 0. Enggak ada lagi yang istimewa. Enggak ada lagi yang petantang-petenteng. Semua akan merasa mandat rakyat (hasil pemilu 2019) sudah putus, sekarang 14 Februari, ayo kita tarung untuk mandat baru. Begitu cara berpikir demokrasi,” tegas Fahri.
Seperti diketahui, Partai Gelora mengajukan uji materi Aturan pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024 yang dilakukan secara serentak sebagaimana diatur dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gelora khawatir jika pemilu serentak tetap dilakukan sebagaimana yang dipahami saat ini, akan menghasilkan anggota DPR berkualitas rendah, karena lebih fokus Pilpres. JPM